Ketika Bulik Berkunjung
Pagi belum terlalu matang. Matahari masih belum terlalu terang. Tanah masih basah oleh embun, dan kehidupan belum benar-benar dimulai. Seorang perempuan berjalan dengan santai melewati jalan aspal yang masih basah. Jalanan itu membelah sebuah perumahan kecil sederhana di tepi kota. Beberapa rumah sudah terbuka, penghuninya pun sudah mulai sibuk. Si perempuan itu berhenti di sebuah rumah sederhana, membuka pagarnya dan masuk ke dalam. Sebuah motor terparkir di halaman, kenalpotnya masih panas tanda motor itu belum lama parkir di sana.
Pelan-pelan si perempuan membuka pintu, nyaris tanpa suara. Dia berjalan terus ke belakang, melewati sebuah pintu kamar yang tidak tertutup rapat. Dari balik pintu tersebut terdengar suara-suara asing yang langsung menarik perhatiannya. Ada desahan, ada lenguhan, dan ada suara ranjang berderit.
Si perempuan berhenti sejenak, menajamkan pendengarannya. Ada bagian dari dirinya yang memaksanya mengintip ke dalam kamar itu. Rasa penasaran yang awalnya berusaha dia tepis, akhirnya membuatnya menyerah. Dia berjalan pelan ke arah kusen, mencari posisi yang tepat untuk bisa mengintip ke dalam kamar dari celah antara kusen dan pintu yang terbuka sedikit. Matanya langsung terbelalak melihat pemandangan di dalam kamar itu. Napasnya memburu dengan cepat dan detak jantungnya makin keras.
Memang dia hanya bisa melihat sedikit apa saja yang terjadi di dalam. Hanya tubuh telanjang seorang pria yang berdiri membelakanginya sambil menggerakkan tubuh bagian bawahnya. Si perempuan memang tidak bisa melihat, tapi dia tahu di depan si pria ada wanita yang sedang membungkuk tepat di tepi ranjang. Mata si wanita tertuju pada tubuh belakang di pria yang terlihat alot dengan otot-otot yang cukup menonjol.
“Ahhh!” Sebuah desahan tertahan mengakhiri gerakan si pria yang kemudian dilanjutkan dengan gerakan menghentak beberapa kali.
Si perempuan yang mengintip tahu kalau adegan di dalam kamar itu sudah selesai, dia bergerak cepat menjauh nyaris tanpa suara. Dia berjalan ke belakang, pelan tanpa suara sampai ke dapur yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kamar tempatnya tadi mengintip.
“Loh? Bulik sudah balik?” Seorang perempuan muda keluar dari kamar tempat si perempuan tadi mengintip. Ada jeda beberapa menit dari kejadin yang tadi sempat diintip si wanita yang disapa Bulik. Wajah si perempuan yang baru keluar dari kamar itu terlihat sedikit kaget, tidak menyangka kalau di dalam rumah itu sudah ada penghuni lain.
“Udah, barusan,” jawab si perempuan yang sedang sibuk merajang air. Ada senyum aneh di wajahnya, dan si perempuan muda sudah langsung tahu. Semburat merah di pipinya menandakan dia malu. “Eheum!” si perempuan yang sedang merajang air mendehem dan tersenyum penuh arti.
Si perempuan muda tidak membalas, dia menutupi mukanya menutupi rasa malunya lalu berlalu masuk ke dalam kamar mandi.
Si perempuan muda yang berlalu masuk ke kamar mandi dengan ekspresi malu itu bernama Yanti. Wanita 27 tahun berkulit hitam manis. Sementara perempuan yang tadi menggodanya bernama Yayuk, perempuan 42 tahun berkulit kuning langsat. Yanti adalah ponakan Yayuk, anak dari kakak tertuanya. Pria yang tadi bersama Yanti di dalam kamar tadi bernama Ramli, suaminya yang berumur tidak jauh dari dia.
Yayuk sebenarnya hanya berkunjung ke rumah Yanti. Aslinya dia tinggal di kampung, dan baru saja mengantarkan anaknya yang baru masuk kuliah di kota tempat Yanti dan Ramli tinggal. Selepas semua urusan selesai, Yayuk mampir ke rumah ponakannya. Sudah lama juga mereka tidak bertemu, sejak Yanti menikah dua tahun lalu dan memutuskan pindah ke kota mengikut suaminya.
Yanti bekerja di sebuah supermarket sebagai kasir, tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Sementara Ramli si suami menjadi seorang satpam di sebuah kantor yang juga tidak terlalu jauh dari tempat tinggal mereka. Sebuah rumah sederhana yang baru saja mereka cicil dengan gaji yang tak seberapa yang mereka sisihkan selama ini.
Yayuk sendiri tidak bisa dibilang orang biasa. Di kampungnya dia termasuk orang cukup berada. Suaminya punya usaha penggilingan padi terbesar di kampungnya, belum termasuk petak-petak sawah yang cukup luas. Mereka adalah pasangan yang cukup terpandang di kampung. Jadi sebenarnya tidak heran kalau Yayuk masih terlihat cukup menarik di usianya yang kepala empat. Dia punya biaya untuk merawat diri, menjaga kulitnya tetap bersih dan terawat, serta tentu saja menjaga badannya tetap terlihat montok di usianya yang kepala empat.
“Sarapan dulu Yan,” kata Yayuk kepada Yanti yang baru saja selesai berdandan selepas mandi. Rambutnya masih basah, dan dia sudah memakai seragam tempat kerjanya. Di meja makan yang kecil itu sudah ada tiga porsi nasi goreng. Yayuk sementara menikmati satu piring di antaranya.
“Duh, bulik. Koq repot-repot amat?”
“Halah, gak papa. Aku gak enak numpang di sini tapi gak ngapa-ngapain. Udah, kamu makan dulu. Kalau abis gituan kan pasti capek. Hihihihi,” kata Yayuk sambil tertawa kecil. Yanti langsung tersipu malu dan secara tidak sadar langsung mencoba mencubit lengan buliknya. Yayuk mencoba menghindar, lalu mereka berdua tertawa lepas.
“Bulik tahu ya?”
“Ya iyalah, wong pintu kamar gak tertutup rapat.”
“Duh, mas Ramli tuh. Balik pagi-pagi dia udah langsung ngajakin.”
“Ya wajarlah, namanya juga cowok. Kalau udah kepengen, rasanya udah di ubun-ubun. Hihihi”
Lalu mereka berdua tertawa cekikikan.
Pukul 10 pagi. Yayuk keluar dari kamar yang ditempatinya hanya dengan berbalut handuk di sekujur tubuhnya. Selembar handuk yang menutupi separuh badannya, dari bagian dada hingga paha. Dia hendak mandi. Keluar dari kamar, pandangannya langsung tertumbuk pada sosok pria di meja makan tepat di luar kamar yang dia tempati. Ramli, suami Yanti duduk di meja makan menikmati nasi goreng yang tadi dibuat Yayuk. Pria berkulit cokelat itu hanya mengenakan singlet mempertontonkan ototnya yang lumayan liat. Dia sedikit kaget ketika melihat Yayuk keluar dari kamar, bahkan Yayuk bisa melihat dengan jelas pria itu menelan ludahnya.
“Wah kamu telat sih bangunnya. Itu nasi udah dingin,” kata Yayuk
“Iya Bulik, tapi tetap enak koq. Hehehe,” Ramli agak kikuk di depan bulik istrinya itu.
“Abis kerja keras sih ya, pasti capek. Hihihihi” Yayuk tertawa menggoda sambil mengedipkan satu matanya. Ramli sontak jadi tambah kikuk. Dia tahu “kerja keras” apa yang dimaksud buliknya itu.
Yayuk juga tidak tahu keberanian dari mana yang membuatnya bisa mengeluarkan kata-kata itu. Mungkin pengaruh apa yang dia lihat tadi pagi di antara kusen dan pintu kamar. Sesuatu yang dengan cepat membangunkan hasratnya.
“Udah ah, aku mandi dulu. Kamu terusin aja makannya,” kata Yayuk sambil berlalu ke arah kamar mandi. Dia sadar jantungnya berdegup lebih kencang. Hasratnya tiba-tiba membuncah meski dia tetap berusaha menyembunyikannya. Ini hari kedua dia di rumah itu, dia belum sepenuhnya memahami situasi di sana. Dia juga masih cukup waras untuk tidak melakukan sesuatu yang bodoh. Langsung meminta Ramli memuaskannya, misalnya.
Di balik penampilannya yang santun dengan pakaian tertutupnya, Yayuk sebenarnya adalah perempuan yang binal. Dia bisa dibilang sedang menjalani masa puber keduanya. Sejak beberapa tahun lalu dia yang tadinya adalah istri yang penurut dan tidak macam-macam berubah menjadi seorang perempuan yang binal. Pertemuannya dengan seorang lelaki muda karyawan suaminya pelan-pelan seperti membuka kotak pandora yang lama tersimpan. Si lelaki muda itu mengajarkannya banyak hal tentang seks. Sesuatu yang selama ini tidak didapatkannya dari sang suami yang jauh lebih tua dan terlalu konvensional untuk urusan seperti itu. Yayuk tiba-tiba berubah menjadi seorang perempuan yang haus seks. Bersama si pria muda dia mendapati kenyataan bahwa ternyata seks itu sangat menyenangkan, apalagi bila dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan melawan hukum moral. Semakin terlarang, semakin menggairahkan.
Di kamar mandi Yayuk berusaha memuaskan dirinya, menggerayangi dadanya sendiri dan memainkan klitorisnya. Seminggu lebih di kota dia tidak tersentuh pria. Segala macam urusan kuliah anaknya menyita pikiran. Sekarang ketika semua urusan itu sudah selesai, pikiran tentang seks lalu muncul. Meminta penuntasan. Apalagi kejadian pagi ini yang terpampang di depan matanya ikut menyumbang rasa penasaran.
Dan kejadian tadi pagi itu juga yang membuatnya berusaha memuaskan diri dengan membayangkan Ramli, suami Yanti ponakannya. Badan tegap dan otot kenyal Ramli hadir dalam pikirannya ketika dia memainkan klitorisnya. Yayuk sudah lupa daratan, rasa hausnya akan seks memaksanya meminggirkan norma dan kenyataan bahwa Ramli adalah suami ponakannya. Dia sudah lupa akan itu semua dan kemudian menggunakan sosok Ramli sebagai bahan fantasinya.
Tapi ternyata bukan hal yang mudah untuk memuaskan dirinya. Suasana kamar mandi yang tidak senyaman kamar mandinya di rumah membuatnya agak kesulitan. Bermenit-menit Yayuk mencoba menggoda dirinya sendiri. Dari meremas dada, memainkan putting, hingga memainkan klitoris dan bahkan mencolok sendiri vaginanya, tapi nihil. Nafsunya tetap menggantung dan tak jua terpuaskan. Hingga akhirnya dia pasrah, membiarkan nafsunya tetap menggantung.
“Udah ah, nyoba aslinya aja.” Katanya dalam hati. Setan sudah berhasil membuatnya berpikir untuk mencoba Ramli. Bukan sekadar menghayalkannya.
Lima belas menit kemudian. Yayuk keluar dari kamar dengan daster sepaha yang dikancing di bagian depan. Dari balik daster berwarna abu-abu terang itu jelas tercetak puting susunya meski agak tersamar oleh gambar bunga dari dasternya. Paha mulusnya yang berkulit cerah terpampang jelas. Rambutnya yang sebahu masih basah, sepotong handuk ada di tangannya dan dipakai untuk mengeringkan rambut hitam bergelombang itu. Meski hanya berbalut daster, tapi wajah Yayuk sudah nampak sangat cerah. Dia berdandan tipis, sengaja tidak terlalu mencolok. Tapi itu sudah cukup untuk menarik perhatian lelaki mana saja. Dandanan tipis, aroma wangi sampo dan semprotan lembut parfum, sungguh kombinasi yang tepat untuk menggoda pejantan. Dan memang itu tujuan Yayuk, menggoda pejantan bernama Ramli.
Sang pejantan yang jadi sasarannya sedang duduk di ruang tamu, menikmati sebatang rokok selepas sarapan. Di meja ada segelas kopi yang masih mengepul, dan di tangannya ada handphone yang sedari tadi memikat matanya. Mata yang kemudian beralih ke sosok Yayuk yang mendekat. Mata yang mengirim sinyal ke otaknya dan membuatnya terkesiap beberapa menit. Matanya tertumbuk pada sosok Yayuk yang segar sehabis mandi dengan daster yang cukup minim, dan hidungnya menangkap aroma wangi dari tubuh dan rambut Yayuk. Paduan sempurna yang membuatnya terkesiap.
“Hari ini kamu masuk malam lagi, Ram?” Tanya Yayuk sambil mendekat. Dia bukannya tidak tahu kalau Ramli terkesiap menatapnya. Dan itu yang dia inginkan.
“Eh..ehh, iya, masuk malam lagi Bulik,” Ramli sedikit gelagapan. Dia segera berusaha menyamankan dirinya, berusaha bersikap biasa saja meski terlihat salah tingkah.
Yayuk tahu kalau Ramli salah tingkah, dalam hati dia tersenyum. Tapi dia juga berusaha bersikap biasa saja, duduk di kursi tepat di depan Ramli, di seberang meja. Hanya berjarang tidak lebih dari dua meter. Tangannya masih sibuk memainkan handuk di kepalanya, bergoyang-goyang mengeringkan rambutnya dan jelas membuat payudara di dalam dasternya bergerak-gerak.
Ramli memperbaiki duduknya. Satu kakinya tadi terlipat ke atas kursi, sekarang diturunkan. Dia bahkan memperbaiki posisi celana pendeknya. Yayuk sekilas bisa melihat kalau di balik celana pendek itu tidak ada celana dalam. Jantungnya tiba-tiba berdebar lebih kencang, dan inilah yang membuatnya semakin bersemangat.
“Oh, dua hari jaga malam ya?” Tanya Yayuk
“Iya bulik. Abis itu libur sehari.”
“Ohh, pantesan tadi pagi semangat amat. Hihihihi,” Yayuk mulai melancarkan godaannya.
“Semangat gimana Bulik?” Ramli seperti berpikir sejenak.
“Itu loh, tadi pagi kan abis ehem-ehem. Hihihihi,” Yayuk terkikik sambil memberikan pandangan yang menggoda.
Wajah Ramli langsung berubah memerah. Dia menelan ludah, “Eh, Bulik tahu ya?”
“Ya tahu dong. Orang kamu ehem-ehem gak nutup rapat pintu, jadi suaranya kedengaran bahkan bisa kelihatan dari luar,”
“Waduh, masak sih?” Ramli menjadi malu. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Hihihi iya, Bulik sampai lihat loh,” Yayuk mengedipkan satu matanya.
Ramli kelihatan kaget, dan sebagai lelaki dia tiba-tiba tahu arah pembicaraan Yayuk. Tapi Ramli juga masih menjaga diri. Beragam pikiran tiba-tiba berkecamuk di kepalanya, dan dia mulai menebak akan ke mana arah pembicaraan ini.
“Emang Bulik lihat apaan?” Sepotong keberanian dalam dirinya memaksanya mengeluarkan pertanyaan itu.
Yayuk tahu umpannya termakan. Waktunya untuk bergerak lagi, katanya dalam hati. “Yaaa gitu deh, ada yang lagi asik menggenjot,” jawabnya.
Ramli bukannya tidak paham, dia juga tahu kalau sedang diumpan. Tapi dia mengulur waktu.
“Waaah kelihatan ya?” Wajahnya balas menggoda. Dia sudah tidak segugup tadi.
“He’eh, kayaknya asyik banget tuh,” Sambil tetap mengeringkan rambutnya, Yayuk perlahan membuka kakinya, membiarkan pandangan Ramli bisa menembus dasternya dan jatuh di sebuah titik di antara kedua kakinya. Sebuah serangan tiba-tiba yang tidak disangka Ramli. Walhasil dia langsung gelagapan dan terlihat sedikit kaget. Yayuk menyunggingkan senyum, masih dengan tatapan yang menggoda.
“Yaaa namanya juga ehem-ehem Bulik, pasti asyik lah,” sesaat kemudian Ramli mulai bisa menguasai dirinya. Dia melakukan serangan balasan, mengelus-elus bagian selangkangannya dari luar. Di momen ini tidak ada lagi predikat bulik-ponakan, yang ada hanyalah dua manusia beda kelamin dengan nafsu yang membuncah dan pelan-pelan menghapus akal sehat mereka.
“Kayaknya ada yang bangun lagi tuh,” Yayuk memberi isyarat dengan matanya, memandang lurus dan tajam ke selangkangan Ramli yang sedang dielus sang empunya.
“Abis, diingetin sih Bulik. Jadinya yaa dia bangun lagi,” sekarang Ramli sudah benar-benar secara demonstratif mengelus selangkangannya. Tepatnya mengelus sebuah benda yang menonjol di balik celana pendeknya.
“Ih, aktif banget ya?”
“Iya dong, namanya juga masih muda,”
Sampai di sini sudah jelas bahwa keduanya sudah saling serang. Tidak ada lagi malu-malu atau main tarik ulur. Pintu sudah terbuka lebar, sisa melangkah ke dalam. Sekarang atau tidak sama sekali.
Dan Yayuk mengambil inisiatif duluan. Dia meletakkan handuknya ke sandaran kursi lalu beringsut ke samping Ramli, duduk di sofa yang sama. Sofa itu bisa memuat tiga orang, jadi masih terasa lowong buat mereka berdua.
Ramli menarik napas, berusaha menetralkan degup jantungnya. Walaupun dia juga tipe pria pemain, tapi suasana ini tetap saja membuatnya sedikit gugup. Sementara itu Yayuk terlihat sangat santai, dia jelas seorang pemain yang sangat berpengalaman.
“Emang dia beneran bangun ya?” Tanya Yayuk. Satu tangannya bergeser ke arah selangkangan Ramli dan langsung bisa merasakan sebuah benda yang mengeras. Dia mengelus benda itu pelan dari luar celana pendek berbahan kaos milik Ramli. Ramli agak tersentak, dan jelas sekali kalau napasnya memburu. Aroma wangi dari Yayuk, elusan lembut jemarinya, dan sensasi terlarang membuat nafsu Ramli dengan cepat memuncak. Dan itu membuat benda kenyal di selangkangannya semakin mengeras.
Ramli semakin menegang, apalagi ketika Yayuk semakin mendekat. Aroma wangi dari rambut dan tubuhnya menguar, merasuk ke hidung Ramli dan menggelitik semua syaraf penciumannya. Berakhir pada degup jantung yang semakin cepat.
“Boleh lihat gak?” Yayuk berbisik. Mulutnya berada tidak jauh dari kuping Ramli. Ramli bisa merasakan hangatnya napas Yayuk di kupingnya. Dia menarik napas, berusaha menetralkan degup jantungnya. Meski dia sudah bersiap, tapi tetap saja dia sedikit kaget melihat pergerakan Yayuk yang tidak dia duga secepat itu.
Ramli dengan cepat menganalisis situasi. Dia melemparkan pandangan ke luar, ke arah jendela. Hari sudah mulai tinggi, di luar suasana juga sedang sepi. Ibu-ibu atau siapapun yang masih tinggal di rumah pasti sedang sibuk di rumah masing-masing. Pintu rumah juga tidak menghadap langsung ke jalan, tapi ke arah samping. Jendela ruang tamu itu juga ditutupi gorden tipis yang bisa tentu saja membatasi pandangan dari dalam dan luar rumah. Di depan ada pagar yang harus dibuka bila hendak masuk ke rumah itu. Aman, kata Ramli dalam hati. Analisis itu terjadi dalam waktu singkat, hanya beberapa detik sebelum akhirnya Ramli mengangguk mengiyakan permintaan Yayuk. Mata mereka bertemu, dan keduanya tahu sorotan mata mereka berisi nafsu yang membara.
Tangan Yayuk masuk ke dalam celana pendek Ramli, dari bagian atas. Tangan lembutnya langsung bertemu dengan sebuah benda kenyal yang hangat. Dengan cepat Yayuk menarik ke bawah, menyingkapkan bagian atas celana Ramli yang kebetulan memang longgar. Tidak butuh usaha keras, dalam sekejap benda kenyal itu sudah terpampang di depan mata Yayuk.
“Wow!” Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Sekarang di depan matanya sebuah benda kenyal berwarna cokelat tua terpampang jelas. Ukurannya lumayan besar, Yayuk dengan cepat membandingkannya dengan ukuran berondong peliharaannya di kampung. Tidak jauh beda, mungkin sekitar 15-16 cm. Sama-sama kokoh dan sama-sama keras dengan urat di sekitar batangnya. Tapi bagaimanapun, benda itu langsung membuat Yayuk bersemangat.
Satu tangannya mengelus batang penis Ramli, dan satu lagi memainkan kantung di bawah penis itu. Syaraf di sekitar penisnya dengan cepat membawa sinyal ke otak Ramli. Sinyal yang membuatnya merinding, dan tiba-tiba jadi tegang.
“Sshhh ah,” tanpa sadar Ramli mendesis. Tubuhnya sedikit menegang dan degup jantungnya semakin cepat. Kepalanya menengadah dengan mata yang sedikit tertutup. Dari matanya yang sedikit tertutup itu dia melirik wajah puas Yayuk dengan senyum kemenangannya.
Yayuk memang merasa menang, serangannya membuahkan hasil. Dan dia tidak mau membuang waktu lebih lama. Beberapa detik mengelus-elus penis yang semakin mengeras itu, dia lalu bergerak memposisikan wajahnya mendekati penis itu. Sedikit membungkuk hingga akhirnya bibirnya jatuh ke permukaan penis itu.
Yayuk menjatuhkan ciuman lembut ke batang penis Ramli, lalu berlanjut dengan ciuman lembut ke bagian leher penisnya dan berakhir dengan ciuman lembut di bagian kepala penis. Ramli menahan napas, sekarang matanya sudah terbuka tapi tidak bisa melihat apa yang terjadi di bawah sana. Pandangannya tertutupi kepala Yayuk. Tapi, dia tahu apa yang terjadi di sana karena dia merasakan lembutnya jari Yayuk di penisnya, begitu juga dengan kecupan-kecupan lembut Yayuk pada penisnya.
Ramli tersentak dan menggeram ketika tiba-tiba dia merasakan ujung penisnya basah dan hangat. Di bawah Yayuk sudah mulai memainkan mulutnya ke penis Ramli. Tanpa aba-aba dia memasukkan penis yang menegang itu ke dalam mulutnya, membiarkan permukaan penis yang sensitif itu bersentuhan dengan bagian dalam mulutnya, basah oleh liur. Kegiatan Yayuk itu membawa sinyal kuat ke otak Ramli, membuat seluruh syaraf tubuhnya menjadi lebih tegang dan rasa nikmat menguasai.
“Arghhh!” Ramli menggeram, menutup matanya dan menengadah. Rasa nikmat menjalar ke seluruh tubuhnya. Ekspresi dan suara yang dikeluarkan Ramli membuat Yayuk semakin bersemangat. Permainan lidah dan mulutnya di penis Ramli semakin menggila. Hampir semua bagian penis Ramli sekarang berbalur liur dari mulut Yayuk. Dia mencampurkan permainan lidah, bibir, dan mulut. Bahkan memainkan kepalanya naik dan turun dengan penis yang tetap ada di dalam mulutnya.
Ramli semakin keenakan. Bagian bawah tubuhnya semakin menegang, semua syaraf di tubuhnya sudah mengirimkan sinyal kenyamanan menuju otaknya. Desahan keluar tak hentinya dari mulutnya. Di tengah semua deru kenikmatan itu, Ramli tahu kalau dia harus berhenti. Kalau tidak, dia pasti akan menyerah bahkan sebelum pertempuran dimulai. Ramli menarik badan Yayuk, memberi isyarat untuk berhenti. Yayuk menurut, dia mengangkat kepalanya dan menatap Ramli, tatapan mereka bertemu, ada sinyal penuh nafsu dari dua pasang mata mereka.
“Kenapa?” Tanya Yayuk.
“Enak banget Bulik. Tapi sekarang gantian ya,” jawab Ramli. Kedua tangannya memegang bahu Yayuk, menatapnya penuh nafsu. Dia memajukan wajahnya, mendekati wajah Yayuk lalu tak berapa lama mereka sudah berciuman. Bibir mereka bertautan dengan penuh gairah dan nafsu. Bibir bertaut, lidah saling bertemu, dan liur membasahi. Ruangan itu terasa begitu panas oleh gairah keduanya. Sambil tetap berciuman, Ramli mulai berdiri memposisikan Yayuk di atas sofa. Tak berapa lama Ramli sudah menarik wajahnya, menghentikan ciuman mereka dan lalu berlutut di depan Yayuk yang duduk bersandar di sofa. Meja yang ada di belakangnya sudah tergeser jauh, memberi ruang leluasa buat Ramli.
Di depan matanya ada paha Yayuk yang membuka lebar, mulus dan gempal. Kedua kakinya terlipat di atas sofa. Di ujung paha itu masih ada celana dalam berwarna merah marun. Celana dalam berenda yang terlihat sangat menggoda. Ramli melirik ke atas, memberi tatapan menggoda pada Yayuk yang sudah terlihat begitu bergairah. Jarinya mengelus paha dalam Yayuk, perlahan dari dekat lutut dan terus menuju bagian selangkangan. Yayuk menegang, matanya perlahan menutup, bibirnya membuka. Desahan halus keluar dari mulutnya, merespon elusan lembut jari Ramli di pahanya. Tubuhnya tiba-tiba tersentak ketika jari-jari Ramli yang besar dan cokelat tua itu menyentuh klitorisnya dari luar celana. Ada rasa bagai tersengat listrik yang menjalar ke seluruh tubuhnya.
Ramli terus memainkan jarinya di bagian klitoris Yayuk. Matanya sesekali melirik ke atas, menikmati reaksi Yayuk yang terus terlihat keenakan. Pelan-pelan Ramli bisa melihat ada bercak di celana dalam Yayuk, bercak dari cairan vagina yang mulai mengalir keluar. Ramli tahu Yayuk sudah semakin terangsang. Bukan cuma Yayuk, Ramli pun sudah semakin terangsang. Dia coba menyingkap sedikit celana dalam itu dan langsung bisa melihat bagian luar vagina Yayuk. Terlihat begitu indah dan menantang, Ramli tidak bisa melawan tantangan itu. Dia mengalah dan perlahan memajukan wajahnya mendekati vagina itu. Aroma vagina yang khas tercium dan langsung menambah gairahnya. Lidahnya terjulur, jatuh ke permukaan vagina yang tertutupi sedikit bulu. Lidah itu dengan cepat memberi efek pada Yayuk. Efek nikmat yang membuatnya tidak sadar mendesah kencang.
Ramli memainkan lidahnya di permukaan vagina Yayuk, sesekali menciuminya dengan sangat bersemangat. Bukan hanya mencium, tapi sesekali mengisap bagian luar vagina itu. Tapi celana dalam yang masih melekat itu membuat pergerakan Ramli jadi terbatas. Karenanya Ramli dengan tidak sabaran berinisiatif melepas celana dalam Yayuk, dibantu oleh Yayuk dengan mengangkat sedikit bagian pantatnya. Hanya dalam waktu singkat bagian bawah tubuh Yayuk sudah polos tanpa celana dalam. Vaginanya terpampang jelas, berwarna lebih gelap dengan bulu-bulu halus di sekitarnya. Pemandangan yang membuat Ramli begitu bersemangat.
Wajahnya lalu jatuh di atas vagina itu. Bibir dan lidahnya tidak berhenti bermain di sana, menjilati, menciumi dan mengisap-isap vagina Yayuk. Aroma khas vagina dan rasa lendir yang asin membuat Ramli semakin bersemangat. Serangan penuh semangat itulah yang membuat Yayuk seperti melayang. Nikmat tak terkira menjalar ke semua inchi tubuhnya. Dia menutup mata, menengadah, dan desahan tidak pernah berhenti keluar dari bibirnya.
“Achhhhh…shhhh,” Yayuk benar-benar menikmati setiap momen itu, kedua tangannya bermain di kepala Ramli yang sedang sibuk di bawah sana. Tanpa sadar dia menjambak rambut Ramli, memberi sinyal betapa besar nikmat yang dia rasakan.
Yayuk duduk di sofa dengan dua kaki terlipat dan mengangkang, di depannya Ramli berlutut dengan kepala yang tertanam di antara dua paha Yayuk. Pemandangan yang sungguh menggoda. Gairah dan nafsu memenuhi ruangan itu, menandai dua insan yang sedang diperbudak nafsu. Tidak ada lagi rasa enggan, tidak ada lagi pemisah antara bulik dan ponakan. Yang ada hanya dua manusia berlainan jenis yang sama-sama tidak bisa lagi mengontrol nafsu mereka.
Menit demi menit berlalu, Ramli menghentikan aktivitasnya di bawah. Dia menegakkan badannya, memandang Yayuk yang terengah-engah. Pandangan mereka bertemu, senyum tersungging dan tanpa sadar mereka mulai berciuman lagi. Ciuman panas penuh nafsu. Nafsu yang membuat mereka mengambil langkah berikutnya.
Ramli berdiri dan membimbing Yayuk, memposisikan tubuh wanita itu membelakanginya. Yayuk tahu apa yang dimaui Ramli. Dia berbalik, masih di atas sofa dan lalu menungging memperlihatkan pantat kenyalnya yang tak terbungkus celana. Pemandangan yang tidak disia-siakan Ramli. Lelaki bertubuh padat itu menurunkan celananya membuat bagian bawah tubuhnya juga terbuka bebas. Penisnya berdiri tegak menantang, seolah siap untuk menyerbu bagian dalam vagina Yayuk. Dan tanpa menunggu lama, penis cokelat gelap itu mulai diarahkan ke bagian vagina Yayuk, mencari celah yang pas untuk masuk. Ramli menggerak-gerakkan penisnya di ujung liang vagina Yayuk, membasahinya dengan lendir yang keluar dari vagina milik Yayuk. Gesekan antara penis dan vagina itu membuat keduanya semakin terbuai. Tapi Ramli tahu kalau saat ini dia yang memegang kendali, dia ingin mengulur waktu, tidak ingin terburu-buru. Yayuk sekarang sudah di posisi sangat pasrah, menunggu serangan Ramli dengan tidak sabar.
Hampir semenit Ramli memainkan ujung kepala penisnya di bagian luar vagina Yayuk, membasahinya dengan cairan vagina yang semakin banyak.
“Ayo sayang, masukin,” kata Yayuk dengan sedikit mendesah. Dia sudah dikuasai nafsu, dan tidak sadar sudah menggunakan kata sayang.
Ramli tersenyum tipis, merasakan kemenangan. Lalu pelan-pelan diposisikannya penisnya di depan liang vagina yang basah itu. Pelan-pelan pantatnya bergerak ke depan, mendorong penis itu masuk senti demi senti ke liang vagina Yayuk. Lalu, bles!
“Arrrghhh!” keduanya mendesah hampir bersamaan. Ramli merasakan rasa hangat yang menyelimuti penisnya, sementara Yayuk merasakan tusukan yang terasa sangat nikmat.
Nikmat pada keduanya semakin terasa ketika Ramli mulai menggerakkan pantatnya maju-mundur. Penisnya bergerak masuk-keluar, dinding dalam vagina Yayuk bergesekan dengan kulit penis Ramli. Gesekan yang memberi rasa nikmat tak terkira. Semua syaraf mereka menyatu mengirimkan sinyal-sinyal penuh kenikmatan ke sekujur tubuh. Ada rasa nikmat yang membuai dan pelan-pelan membuat mereka seperti melayang.
Plok! Plok! Plok! Suara pertemuan antara bagian depan selangkangan Ramli dengan pantat Yayuk bergema, bercampur dengan suara kecipak-kecipuk gerakan penis yang masuk-keluar dari liang vagina Yayuk. Desahan, desisan, dan erangan ikut memeriahkan suasana, memicu rasa nikmat dan nafsu yang semakin menguasai satu ruangan. Mereka tidak peduli pintu dan jendela yang terbuka lebar, tidak peduli kalau setiap saat bisa saja ada tamu yang masuk dan memergoki mereka. Mereka hanya tahu rasa nikmat yang semakin mendera. Mereka sudah bertekuk lutut pada nafsu yang menguasai.
Detik berganti detik, lalu berganti menit. Menit berganti menit. Pergumulan kedua insan berbeda kelamin itu terus berlanjut, hasrat semakin memuncak, semakin memuncak, hingga tahu-tahu Yayuk berteriak tertahan. Tubuhnya mengejang, dan Ramli bisa merasakan ada kedutan di dalam liang vagina yang sedang dia tusuk dengan penis.
“Arrghhhhh!” Yayuk mencapai klimaks. Rasa nikmat tak terbendung memenuhi seluruh tubuhnya, membuatnya mengejang dan dalam beberapa detik seperti hilang kesadaran. Setelahnya, tubuhnya lunglai, masih dengan posisi menungging tapi dengan tubuh yang lebih lemah. Ramli tahu itu, dia menghentikan sejenak gerakannya, tapi tetap membiarkan penisnya berada dalam liang vagina yang semakin basah itu.
Hanya sebentar sebelum dia kembali menggerakkan pantatnya. Mulanya pelan, lalu perlahan semakin kencang. Yayuk kembali mendesah, liang vaginanya terasa ngilu dan membuatnya sedikit merinding. Tapi dia biarkan saja, apalagi Ramli tahu cara mengatur tempo. Pelan, pelan, lalu semakin kencang. Nafsunya yang tadi sempat menurun, perlahan mulai menanjak lagi. Kali ini bunyi kecipak semakin keras terdengar, vagina Yayuk sudah sangat basah. Aromanya menyeruak, membantu nafsu Ramli yang semakin tinggi.
Kali ini Ramli tidak hanya sekadar menggerakkan pantatnya, tapi juga mencondongkan tubuhnya ke depan, kedua tangannya bergerak mencari dua gumpal payudara Yayuk yang masih terbungkus daster. Tidak sulit karena daster Yayuk cukup longgar, hingga tak lama kemudian kedua payudara itu sudah bertemu dengan dua tangan Ramli. Payudara yang berukuran 36C itu dengan cepat diremas Ramli, putingnya dimainkan dengan penuh semangat. Semua itu membuat Yayuk semakin melayang, larut dalam kenikmatan ronde kedua yang bergelombang datang nyaris tanpa henti.
Detik demi detik berganti, lalu menjadi menit dan kemudian berganti menit. Kedua insan itu semakin memburu, masih dengan posisi yang sama. Butiran-butiran keringat membasahi wajah dan tubuh keduanya. Syaraf semakin menegang, nikmat semakin merajai. Lalu Yayuk kembali menegang, berteriak tertahan dan mencapai klimaks. Ramli tahu kalau dia juga sebentar lagi akan sampai klimaks, tapi dia menunggu sejenak hingga Yayuk selesai menikmati klimaksnya.
Ketika melihat Yayuk sudah lunglai, Ramli tahu kalau itu sudah waktunya bagi dia. Gerakannya semakin kencang yang berbalas dengan suara merintih Yayuk yang merasakan ngilu di sekujur tubuhnya. Detik berganti, lalu Ramli mulai tidak tahan.
“Arrrghhhh!” Dia mengerang, mencabut penisnya dari lubang vagina Yayuk, mengocoknya sejenak dan kemudian mengejang. Sperma muncrat dari penisnya, tidak terlalu banyak karena baru saja dia keluarkan tadi pagi bersama Yanti istrinya. Tiga muncratan dan beberapa detik seolah melayang sebelum Ramli melemah. Nikmat sampai ke ubun-ubun. Spermanya jatuh ke bagian pantat Yayuk, sebagian jatuh di atas daster bagian belakang Yayuk.
Ramli menjatuhkan badannya ke atas sofa. Nafasnya terengah-engah, penisnya masih setengah tegang dan nampak mengkilap dengan lendir vagina Yayuk. Yayuk tadinya mau ikut duduk di sofa, tapi dia sadar kalau di bagian belakangnya masih ada sisa sperma Ramli jadi dia hanya menengakkan badannya, meraih tisu di dekat sofa dan membersihkan tubuh bagian belakangnya.
“Koq dibuang di luar sih?”Tanyanya. Napasnya juga masih terengah-engah.
“Abisnya takut Bulik, ntar hamil,” jawab Ramli.
“Nggak koq. Bulik sudah steril koq,” Yayuk masih membersihkan bagian belakang tubuhnya.
“Oh ya udah, kalau gitu nanti buang di dalam aja,” Ramli memberikan kode dengan kedipan mata.
Yayuk tertawa, “Wah! Ada yang mau lagi nih,”
“Iya dong, enak gitu. Siapa yang nolak?”
Lalu mereka berdua tertawa dan kemudian berciuman singkat.
“Makasih ya, kontol kamu enak,” Yayuk berbisik di kuping Ramli.
“Memek Bulik juga enak,” balas Ramli.
Lalu mereka kembali berciuman, kali ini lebih hangat. Semacam ucapan terima kasih yang masih berbalut rasa nikmat dan nafsu.
“Udah ah, aku bersih-bersih dulu ya,” Yayuk melepaskan ciumannya, lalu berdiri dan menjauh ke arah kamarnya. Gerakan pantatnya yang masih terbuka bebas tanpa celana dalam dengan daster yang tersingkap terlihat sangat menggoda. Ramli memandanginya sambil menarik napas panjang, dia masih berusaha mengatur napasnya dan mencerna apa yang baru saja terjadi. Sejam yang lalu, wanita itu adalah buliknya, keluarga dari istrinya, orang yang seharusnya dia hormati. Sekarang, wanita itu tidak lain dari wanita yang baru saja bersamanya mendaki puncak kenikmatan, sama-sama didera nafsu dan pada akhirnya sama-sama luruh dalam kenikmatan tiada tara.
Ramli tersenyum, lalu berdiri memperbaiki celananya dan berjalan masuk ke kamarnya. Sebuah babak baru terbuka di depannya. Babak yang akan membawa dia kepada petualangan-petualangan baru penuh nafsu.,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,